Setelah adzan Magrib berkumandang pada hari terakhir Romadhon atau setelah pernyataan Pemerintah mengenai esok adalah hari raya ‘Iedul Fitri. Telphone/ponsel, fax, email dan berbagai media komunikasi lainnyapun sibuk, para penggunanya saling bersilahturahim dengan sanak saudara, karib kerabat ataupun rekannya yang berada jauh di mata. Setelah sholat ‘Ied, mulailah suasana silahturahim, saling bersalaman dan saling mengucapkan hari raya ‘Iedul Fithri mewarnai di hampir setiap rumah-rumah atau tempat-tempat kaum muslimin berkumpul. Suasana ini berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari selama bulan Syawal.
Pada hari tersebut, kaum muslim, khususnya muslim Indonesia, banyak yang lupa atau tidak tahu atau mungkin sengaja melakukan jabat tangan dengan orang-orang yang bukan mahromnya. Sungguh menyedihkan, di hari pertama kita meninggalkan Romadhon, kita langsung melakukan sebuah kesalahan. Kita yang merayakan hari raya ‘Iedul Fithri ini sebagai wujud kecintaan kita kepada Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan atas nikmat adanya hari raya ini, namun kita melakukan pelanggaran terhadap larangannya. Sebagaimana larangan Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum besi, lebih baik daripada dia menyentuh yang tidak halal dia sentuh” (lihat Silsilah Al-Hadits As Shohihah 226).
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan seorang wanitapun”. Juga perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang artinya: “Demi Alloh, tiadalah pernah tangan Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menyentuh tangan wanita walau sekali. Dan tiadalah beliau memba’iat kaum wanita, kecuali hanya dengan ucapan”.
Lalu apa yang harus kita lakukan?, tentunya telah jelas batasan-batasan dalam syariat Islam, agar kita tidak melakukan berbagai kemungkaran di hari raya ‘Iedul Fithri ataupun di hari-hari lainnya. Kita berupaya menghindari untuk taat kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dan Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, dengan menjauhi larangan-larangannya.
Ucapkanlah Taqobbalalla Minna Wa Minka.
Selain berjabat tangan dengan yang bukan mahrom, terdapat suatu perkara aneh lagi yang merupakan sebuah tradisi terutama tradisi khusus umat muslim Indonesia. Kaum muslim di Indonesia, ketika tiba hari raya ‘Iedul Fithri banyak yang mengucapkan “Minal ‘Aaidiin wal Faaizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Sehingga tergambar di benak kaum muslimin di Indonesia bahwa arti minal ‘aaidiin…. dst adalah mohon maaf lahir dan batin. Padahal arti minal ‘aaidiin…. dst yang sesungguhnya adalah (Semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Entah apa yang dimaksud dengan kata ‘aaidiin, apakah kembali berbuka (fithri) atau kembali menjadi fithrah (suci). Tapi yang jelas, kita telah mengetahui makna ‘Iedul Fithri yang sebenarnya (baca artikel sebelumnya). Dan mudah-mudahan dosa kita diampuni dari Romadhon yang lalu ke Romadhon berikutnya. Sebagaimana hadits Nabi, yang artinya: “Sholat lima waktu, dari jum’at ke jum’at berikutnya, dari Romadhon ke Romadhon berikutnya, bisa menghapuskan dosa-dosa yang terjadi dintaranya, jika dosa-dosa besar bisa dihindari” (HR: Bukhori dan Muslim).
Sehingga perlu diluruskan kembali, seseorang yang mengucapkan, “Semoga kita kembali menjadi orang yang fitrah (diampuni dosanya) dan termasuk orang yang menang”. Bukan berarti karena hari raya ini adalah hari raya fithrah/suci akan tetapi karena hadits diatas. Wallohu ‘Alam.
Permasalahannya tidak selesai sampai disini, akan tetapi di dalam Islam, kita dituntut untuk mengikuti teladan kita yaitu Nabi Muhammad kemudian para sahabat, kemudian orang-orang yang hidup setelah mereka (Taabi’iin) kemudian Taabi’ut taabi’iin. Sementara dalam mengucapkan selamat hari raya ‘Iedul Fithri telah datang atsar yang mulia yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, yang artinya: “Dari Khalid bin Ma’dan radhiyallaahu ‘anhu berkata, ‘aku menemui Watsilah bin al-Aqsa’ pada hari ‘Ied lalu aku mengatakan Taqobbalalla Minna Wa Minka.’ Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasululloh pada hari ‘Ied, lalu aku mengucapkan Taqobbalalla Minna Wa Minka kemudian Rasululloh menjawab Ya, Taqobbalalla Minna Wa Minka’” (HR: Baihaqi dalam sunan Kubra, No 6088)
Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa yang dianjurkan adalah mengucapkan do’a “Taqobbalalla Minna Wa Minka” yang artinya “Semoga Alloh menerima (amal ibadah) kita dan kamu“. Maka terlepas dari boleh atau tidaknya mengucapkan Minal ‘Aaidiin wal Faaizin. Maka alangkah baiknya jika kita beragama mengikuti tuntunan Rasululloh Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan contoh dari para ahlinya yaitu generasi para sahabat. Bukankah mereka lebih dekat dengan Rasululloh sehingga mereka lebih mengerti agama daripada kita???
Adapun kalimat “Mohon Maaf lahir dan batin” menjadi kalimat ampuh bagi kaum muslimin, yaitu sebagian mereka hanya meminta maaf ketika hari raya tiba. Sehingga ketika sebagian mereka berbuat salah pada seseorang, sebagian mereka berkata: “Ah, minta maafnya nanti saja pada saat hari raya, toh pasti dimaafkan” atau semisalnya. Padahal anjuran minta maaf adalah ketika kita berbuat kesalahan dan tidak ada yang menjamin kehidupan seorangpun sampai hari raya tiba kecuali Alloh ‘Azza wa Jalla. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab
(Sumber Rujukan: Silsilah Al-Hadits As Shohihah, Sunan Kubra, Makalah Beberapa Catatan Kaki Tentang ‘Iedul Fithri, Buletin An-Naba Masjid Kampus UGM, Buletin An-Nahl)
Allohu Akbar… Allohu Akbar… Allohu Akbar…
0 komentar:
Posting Komentar