Permasalahan Penting Dalam Khutbah Jum'at

Khutbah Jum'at memiliki fungsi yang sangat penting
dalam Islam, walaupun ia seperti nasehat-nasehat menuju ketaqwaan yang lain
namun khutbah Jum'at memiliki kekhususan dan aturan yang telah diatur oleh
Rasulullah shallallahu 'alai wasallam. Namun masih banyak kekhilafan yang kerap
terjadi di dalam praktekknya, apa saja itu, dan bangaimana sebaiknya.....

MEMANJANGKAN KHUTBAH DAN
MEMENDEKKAN SHALAT

Oleh Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.

Sebagian khatib ada yang memanjangkan khutbahnya sampai terasa membosankan

sehingga bagian terakhir lupa pada bagian awalnya. Dan dengan demikian,

akhirnya dia memendekkan shalat. Padahal jika melakukan sebaliknya, maka hal

itu telah sesuai dengan Sunnah Nabi.



Muslim telah meriwayatkan:





“Dari Washil bin Hayyan, dia berkata, Abu Wa’il berkata, ‘Ammar pernah

memberi khutbah kepada kami dengan singkat dan padat isinya. Dan ketika

turun, kami katakan kepadanya, ‘Wahai Abu Yaqzhan, sesungguhnya engkau telah

menyampaikan dan menyingkat khutbah, kalau saja engkau memanjangkannya.’”



Maka dia menjawab, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan

pendek khutbahnya menjadi ciri pemahaman yang baik dalam agama. Oleh karena

itu, perpanjanglah shalat dan perpendeklah khutbah, dan sesungguhnya di

antara bagian dari penjelasan itu mengandung daya tarik.” [1]



Dan dalam riwayat Ahmad disebutkan, artinya:





‘Ammar bin Yasir pernah memberi khutbah kepada kami, lalu dia

menyampaikannya secara singkat, maka ada seseorang dari kaum Quraisy yang

berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau telah menyampaikan ungkapan yang

singkat lagi padat, kalau saja engkau memanjangkannya.”



Lalu dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

telah melarang kami untuk memanjangkan khutbah.” [2]



An-Nawawi rahimahullahu mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits di atas

adalah bahwa shalat yang lebih dipanjangkan daripada khutbah, bukan panjang

yang dapat menyusahkan para makmum.” [3]



KHATIB TIDAK TERPENGARUH OLEH KHUTBAHNYA PADA SAAT MENYAMPAIKAN KHUTBAH

Sebagian khatib ada yang menyampaikan khutbahnya dengan sangat lambat

sehingga suaranya pun tidak terdengar keras serta tidak terpengaruh oleh apa

yang disampaikannya, tidak juga bersemangat dalam menyampaikannya. Semuanya

itu bertentangan dengan petunjuk Muhammad, sebaik-baik hamba Shallallahu

‘alaihi wa sallam.



Telah diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya: , artinya:



"Dari Jabir bin ‘Abdullah z, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam terbiasa dalam berkhutbah dengan keadaan kedua mata beliau tampak

merah, suaranya sangat lantang, dan amarah-nya memuncak…” [4]



KHATIB MEMEGANG PEDANG ATAU TONGKAT

Di antara khatib ada juga yang bersandar pada pedang atau tongkat saat

menyampaikan khutbah Jum’at dengan anggapan bahwa hal tersebut me-rupakan

Sunnah, atau bahwa Islam itu tersebar dengan menggunakan pedang. Secara

keseluruhan hal tersebut adalah salah.



Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

tidak pernah mengambil pedang atau yang lain-nya, hanya saja beliau

bersandar pada busur atau tongkat sebelum beliau mempunyai mimbar.” [5]



KHATIB MENYAMPAIKAN HADITS-HADITS DHA’IF (LEMAH) DAN MAUDHU’ (PALSU)

Sebagian khatib ada yang tidak bisa membedakan hadits shahih dan hadits

dha’if. Dia mengira semua hadits yang didapatkannya tertulis di dalam kitab

yang boleh untuk disampaikan atau dijadikan landasan. Dan ini jelas salah.

Sebab, terdapat banyak hadits-hadits dusta yang dipalsukan atas nama Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, seorang khatib harus

berhati-hati agar tidak termasuk orang-orang yang berbohong atas Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah bersabda seperti yang

diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, artinya:



“Barangsiapa berdusta atas diriku dengan sengaja, maka hendaklah dia

bersiap-siap menempati tempat duduknya di Neraka.” [6]



Menyebarluaskan hadits-hadits dha’if dan maudhu’ merupakan upaya

menyebarluaskan bid’ah dan khurafat di kalangan masyarakat, karenanya aku

nasihatkan kepada saudara-saudaraku para khatib melalui beberapa hal berikut

ini:



Pertama: Pelajarilah beberapa buku yang menjelaskan hadits-hadits dha’if

agar dia berhati-hati terhadapnya sekaligus memperingatkan orang-orang agar

tidak menjalankannya. Di antara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut.



[a]. Al-Fawaa-id al-Majmuu’ah fil Ahaadiits al-Baathilah wal Maudhuu’ah,

karya asy-Syaukani.

[b]. Dha’iiful Jaami’, karya al-Albani.

[c]. Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah wal Maudhuu-’ah, karya al-Albani.

[d]. Mausuu’ah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah, karya Syaikh Ali al-Halabi.

[e]. Tamyiizuth Thayyib minal Khabiits fiimaa Yaduuru ‘alaa Alsinatin Naas

minal Hadiits, karya Ibnu ad-Daibi’ asy-Syaibani.

[f]. Al-Jiddul Hatsiits fii Bayaani maa Laisa bi Hadiits, Ahmad bin ‘Abdul

Kariim al-Gazi.

[g]. Al-Kasyaful Ilahii ‘an Syadiid adh-Dha’f wal Waahii, Muhammad bin

Muhammad al-Husaini as-Sandarusi.



Kedua: Gigih untuk menelaah naskah-naskah yang telah ditahqiq (diteliti)

dari buku-buku yang dijadikan sandaran dalam memberikan khutbah, karena hal

itu akan dapat membantu membedakan yang shahih dari yang dha’if.

Ketiga, mempersiapkan khutbah dengan sebaik-baiknya, menghafal hadits-hadits

yang akan dijadikan landasan di dalam khutbahnya sekaligus menyebutkan

sumber-sumbernya.



KETIDAKTAHUAN BANYAK KHATIB TERHADAP KAIDAH-KAIDAH BA-HASA ARAB

Sekarang ini kita melihat adanya kelemahan yang bersifat umum mengenai

bahasa Arab, baik dalam tatanan individu maupun umat secara keseluruhan.

Sebab, sedikit sekali orang yang mau memberi perhatian terhadap pelajaran

bahasa Arab serta menggunakannya dalam perbincangan secara baik.



Dan ini merupakan program terencana dari musuh-musuh Islam untuk menjauhkan

umat dari bahasa dan peninggalan serta keislamannya.



Bertolak dari hal tersebut, para khatib, da’i, dan ulama secara khusus harus

benar-benar mem-beri perhatian terhadap pelajaran bahasa Arab agar mereka

bisa memahami nash-nash syari’at dengan baik dan agar mereka bisa

menyampai-kan berbagai informasi dan hukum-hukum ke-pada kaum muslimin

melalui bahasa Arab yang shahih. Dan cukup bagi seorang khatib misalnya

mempelajari satu buku saja tentang kaidah bahasa seperti, Syudzuur

adz-Dzahab, atau kaidah-kaidah dasar, dan berbagai macam buku bahasa yang

mudah untuk memperbaiki bahasanya.



KHATIB MENGANGKAT KEDUA TANGAN SAAT BERDO’A [7]

Sebagian khatib ada yang mengangkat kedua tangannya di atas mimbar pada saat

berdo’a. Dan ini jelas salah, karena yang benar adalah tidak mengangkat

kedua tangan. Dan jika harus meng-angkat, maka hendaklah dia mengangkat jari

telunjuk saja.



Telah diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya bahwa ‘Ammarah bin

Ruwaibah Radhiyallahu ‘anhu pernah melihat Bisyir bin Marwan di atas mimbar

tengah mengangkat kedua tangannya, maka dia berkata, “Semoga Allah

memperburuk kedua tangan ini, karena sesungguhnya aku pernah menyaksikan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih berdo’a dengan

mengisyaratkan tangannya seperti ini. Dan dia menunjukkan jari telunjuknya.”

[8]



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dimakruhkan bagi imam untuk

mengangkat kedua tangannya saat berdo’a dalam khutbah, karena Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya jika

berdo’a. Sedangkan di dalam do’a Istisqa’ (minta hujan), maka beliau

mengangkat kedua tangannya ketika beliau memohon hujan dari atas mimbar.”

[9]



Di dalam kitab, al-Muharrar dia mengatakan, “Mengangkat kedua tangan saat

berdo’a di atas mimbar oleh khatib adalah bid’ah, sesuai dengan madzhab

Maliki dan Syafi’i.” [10]



MENGANGKAT KEDUA TANGAN YANG DILAKUKAN OLEH JAMA’AH SAAT KHATIB BERDO’A

Sebagian kaum muslimin ada yang mengangkat tangan mereka saat khatib mulai

memanjatkan do’a di atas mimbar. Dan ini jelas sebagai kesalahan. Dan yang

benar adalah tidak mengangkat kedua tangan pada saat itu.



Ibnu ‘Abidin rahimahullahu mengatakan, al-Baqqaliyyu mengatakan, “Jika

seorang khatib mulai berdo’a, maka tidak diperbolehkan bagi jama’ah untuk

mengangkat kedua tangannya.” [11]



[Disalin dari kitab kitab al-Kalimaatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaai’ah,

Bab “75 Khatha'an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan

Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit

Pustaka Ibnu Katsir] Oleh

Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Sumber :

http://www.almanhaj.or.id

0 komentar:

Posting Komentar